Masa lima tahun awal dalam tahap perkembangan anak adalah masa golden age, yaitu suatu masa emas dalam periode pertumbuhan dan perkembangan anak. Pada masa ini, segala hal yang tercurah dan terserap pada diri anak, akan menjadi dasar dan memori yang tajam pada diri anak tersebut, termasuk hal yang berkaitan dengan kesehatan gigi. Jika pada masa emas anak ini telah terbentuk memori, perilaku, kebiasaan dan sikap tentang cara merawat gigi dan mulut, maka sikap hidup ini akan terbawa sampai dewasa, sehingga pengetahuan tentang cara hidup bersih dan sehat, termasuk pemeliharaan kesehatan gigi perlu ditanamkan pada masa balita ini. Orang tua dapat menjadi role model atau contoh perilaku ini.
Pada masa balita, anak mengalami periode pertumbuhan gigi desidui (gigi susu). Tanda-tanda munculnya gigi susu antara lain gusi anak memanas dan memerah, sering resah dan rewel, adanya rasa sakit dan tidak nyaman pada mulut, serta keluar air liur berlebih. Secara klinis, terlihat gusi menjadi merah dan bengkak. Terkadang tampak bercak putih (seperti tulang), yang sebenarnya adalah benih gigi yang muncul pada gusi. Anak kadang terlihat menggigit-gigit berbagai benda, mulai dari jari sampai telapak tangan, ujung baju atau kain, atau bahkan ujung bantal dan guling kesayangannya. Adanya rasa sakit dan tidak nyaman ini menyebabkan anak sulit beristirahat pada saat siang, bahkan malam hari.
Bagaimana cara membuat nyaman anak pada proses pertumbuhan gigi susu? Sebagai orang tua, kita dapat menawarkan benda-benda atau makanan yang dapat membuat nyaman anak, misalnya gigitan, biskuit keras, atau buah-buahan yang dipotong kecil sehingga dapat digunakan anak untuk merangsang pertumbuhan gigi susu tersebut. Namun, pemberian makanan atau benda tertentu ini harus dalam pengawasan karena pemberian makanan atau benda tertentu yang berfungsi untuk merangsang pertumbuhan gigi, dapat menyebabkan anak tersedak. Selain itu, kita bisa memijat (massage) menggunakan jari pada gusi anak tersebut sehingga dapat mengurangi ketidaknyamanan yang dirasakan anak.
Penulis:
Laelia Dwi Anggraini, drg., Sp.KGA